Desa Kalisoro di Kecamatan Tawangmangu, Jawa Tengah, dikenal sebagai salah satu daerah yang menjadikan stroberi sebagai produk wisata. Namun, di balik kesuksesan wisata dan panen tersebut, tersimpan berbagai tantangan yang harus dihadapi para petani setiap harinya. Mulai dari cuaca yang tidak menentu, serangan hama, hingga kesulitan pupuk dan pemasaran yang menjadi bagian dari keseharian mereka.
Salah satu kendala utama yang dihadapi para petani adalah cuaca, terutama saat musim hujan. Dimana kadar air yang tinggi menyebabkan stroberi mudah busuk bahkan pada saat sebelum matang, sehingga beberapa petani terpaksa beralih menanam lombok maupun bawang sebagai alternatifnya. Kemudian saat musim kemarau kesulitan penanaman stroberi dirasakan dengan kurangnya suplai air untuk tiap tanaman yang ada di lahan. Selain itu, serangan hama seperti burung, ulat, dan jamur juga kerap menjadi tantangan tersendiri bagi para petani stroberi, dimana tiap musim memiliki hamanya masing-masing. Untuk mengatasinya, petani harus melakukan perawatan intensif, seperti penyiraman teratur dan pemupukan yang tepat. Namun, tidak semua petani memiliki pengetahuan dan sumber daya yang memadai untuk melakukannya.
Tantangan lain muncul dalam hal pemasaran. Stroberi termasuk buah yang mudah rusak dan hanya bisa bertahan dalam jangka pendek setelah dipetik. Dimana setelah matang buah stroberi harus diambil secepatnya, karena lebih dari 5 hari stroberi biasanya sudah busuk, dan setelah dicabut juga hanya tahan max selama 5 hari. Akibatnya, pemasaran terbatas pada wilayah sekitar, dan petani sangat bergantung pada peran bakul (pengepul) atau kunjungan dari wisatawan. Meskipun ada yang mencoba menjual ke toko', skalanya masih sangat terbatas. Belum lagi, ketiadaan koperasi atau lembaga pemasaran yang terintegrasi semakin menyulitkan petani dalam menembus pasar yang lebih luas.
Di tengah berbagai kendala tersebut, petani stroberi Kalisoro terus berupaya mencari solusi. Beberapa di antaranya mulai memanfaatkan event lokal untuk ikut menjual hasil panen, sementara yang lain mencoba berkolaborasi dengan sesama petani untuk mengelola produk buah stroberi. Sayangnya, upaya ini masih terhambat oleh kurangnya komunikasi dan lembaga yang memfasilitasi kerja sama antar-petani.
Potensi pengembangan produk turunan stroberi, seperti selai, sirup, atau permen, juga belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal, diversifikasi produk dapat menjadi solusi untuk mengurangi kerugian akibat stroberi yang tidak laku atau busuk maupun potensi produk UMKM unggulan. Namun, minimnya pengetahuan dan akses terhadap investor, teknologi pengolahan, dan pasar menjadi penghalang besar yang tidak dapat ditembus oleh para petani seorang diri.
Maka dati untuk kedepannya, petani stroberi Desa Kalisoro membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, baik pemerintah daerah, akademisi, maupun pelaku usaha. Untuk melakukan pelatihan pengolahan hasil panen, pembentukan koperasi petani, dan penguatan jaringan pemasaran yang menjadi langkah awal untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Dengan adanya kolaborasi yang baik, harapannya stroberi Kalisoro tidak hanya akan bertahan, tetapi juga bisa bersaing di pasar yang lebih luas.